Aku tergagap bangun saat merasakan cairan yang cukup deras menampar wajahku, cairan yang sengaja diguyurkan oleh seseorang ke tubuhku secara sekaligus dan kasar
Seseorang itu aku yakin seorang pria usianya kukira sepantar denganku, aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena ia membelakangi cahaya dan menggunakan topi aku hanya melihat siluet hidung dan mulutnya saja dan aku melihat bibir si pria itu seperti tertutup darah kering, entahlah sepertinya bekas sariawan yang parah. Pria itu berjongkok mendekatiku dan mengatakan sesuatu penuh emosi dekat sekali dengan wajahku, namun aku tak mendengar jelas apa yang ia katakan, telingaku berdengung akibat kemasukkan cairan tadi.
Aku tak mengerti mengapa tanganku terikat kebelakang dan mengapa tubuhku basah begini? aku berusaha mengingat hal terakhir sebelum aku berada disini namun sia-sia aku tidak dapat mengingat apa-apa dikarenakan kondisi tubuhku yang teramat sangat letih, antara lapar, haus dan ketakutan semua bercampur menjadi satu, dan diantara sadar dan tidak aku bertanya pada pria yang menyiram tubuhku tadi;
“siapa kau?”
“dimana ini?”
“apa salahku?”
Alih-alih mendapat jawaban, pria itu mengambil lagi seember cairan dan menyiramkan ke tubuhku dan ke sekeliling ruangan, kali ini aku menyadari cairan apa yang sedari tadi mebasahi tubuhku ini, aroma cairan ini yang sangat khas jika kita sedang berada di stasiun pengisian bahan bakar kendaraan. Ya! Cairan ini cairan bensin!
Sesaat aku melihat ke arah si pria itu, dia sedang sibuk merogoh kantong jaket dan saku celananya aku yakin betul dia sedang mencari korek api. Sial! dia akan membakarku hidup-hidup!
*
Hari ini adalah tepat 3 bulan lamanya aku tinggal di kota metropolitan ini, kota yang konon katanya tidak pernah tidur, kota yang selalu semarak dengan hingar bingar kehidupan dan kemacetan yang tidak dapat dihindari baik itu di jam pulang kantor maupun diluar jam kantor, kota yang juga memiliki tingkat kriminalitas paling tinggi, kriminalitas yang disebabkan oleh jurang kesenjangan yang cukup dalam antara si miskin dan si kaya. Ya, itulah Jakarta, selalu ramai dan penuh dinamika disetiap detiknya.
Kekasihku sudah 3 bulan lebih dulu menginjakkan kaki di Jakarta ini, saat ini dia bekerja sebagai perawat di Rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Seharusnya kami pergi bersama-sama ketika hijrah ke Jakarta ini, pada awalnyanya aku mengajak kekasihku untuk pindah bekerja ke Jakarta, ajakanku ini karena aku diterima bekerja sebagai Surveyor Sipil di perusahaan kontruksi di daerah Cilandak, namun seminggu menjelang keberangkatan kami ibuku meninggal dunia, karena hal tersebut kekasihku berangkat lebih dulu dan aku berangkat menyusul setelah selesai mengurusi pemakaman ibuku bersama ayahku.
Di kampungku ayahku seorang penghulu agama Syiwa, sehingga ketika mendiang sang istri meninggal ayah menginginkan ritual kremasi untuk pemakaman istrinya. Kebetulan beberapa bulan sebelummnya ada beberapa warga yang juga meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkan tersebut berdiskusi bersama ayah serta tetua lainnya dan sepakat melangsungkan upacara Ngaben secara massal, jenazah ibu yang sudah dikubur selama 12 hari kemudian dilaksanakan upacara Ngaben bersama jenazah-jenazah lainnya, selesai prosesi upacara adat Ngaben dan segala macam ritual adat lainnya barulah aku pamit kepada ayah dan adik-adikku untuk berangkat ke Jakarta.
Hal pertama yang aku lakukan ketika menginjakkan kaki di Jakarta hanya dua yaitu; membeli kipas angin baik kipas angin standar berdiri maupun kipas angin elektrik yang dapat kubawa kemana pun aku pergi dan jika mati aku hanya perlu mengganti baterainya tipe AA sebanyak 2 biji, hal lainnya adalah mengunjungi kekasihku, bagaimanapun aku merasa tidak enak kepadanya, aku yang mengajak hijrah tapi ia yang tiba duluan dan mengurus segala keperluannya sendirian.
Aku merasa lega setelah bertemu dengan kekasihku dia baik-baik saja, maksudku dia betul-betul tidak kesal sedikitpun terhadapku, darimana aku yakin akan hal itu? aku mengetahui dari senyumnya, senyum yang aku kenal sejak kami SMA, dia memiliki senyum yang tulus dan sikapnya yang penyabar, maka ketika hari wisudaku tiba aku meminta dia untuk menjadi PW (pendamping wisuda)-ku dan saat itu pula lah aku memberanikan diri menyatakan cintaku, kami pun berpacaran hingga sekarang sudah 2 tahun lamanya.
Sepulang makan bersama kekasihku, dia menunjukkan tempat dia bekerja dan kost-an nya selama di Jakarta ini, setelah tiba di depan kosannya, dia menunjuk jendela paling kiri yang dia sebut sebagai kamarnya, dia pun mengenalkanku kepada pemilik kost bahwa aku adalah kekasihnya sedari kuliah. Pemilik kostan mengingatkan kepada kami bahwa tidak boleh membawa masuk laki-laki kedalam kamar juga tidak boleh membawa hewan peliharaan berupa anjing. Meskipun baru kali ini aku menginjakkan kaki diluar pulau Dewata, namun aku cukup memahami peraturan umat muslim akan najisnya air liur anjing dan wanita yang tidak boleh menunjukkan rambut atau auratnya dihadapan lelaki yang bukan suaminya. Pak Haji Dadang pun pamit masuk kedalam dan meninggalkan kami yang tengah duduk di teras kostan. Aku pun merasa lega untuk kedua kalinya saat mengetahui kostan kekasihku berada dalam lingkungan yang baik, hari sudah sore sang surya mulai terbenam dan menyisakan lembayung indah dengan semburat keemasaanya di ufuk barat aku pun pamit kepada kekasihku untuk kembali ke mess-ku.
Ternyata tindakanku untuk langsung menemui kekasihku di awal aku tiba disini ada benarnya, karena meskipun kami berada di kota yang sama, kami berdua sama-sama sibuk oleh kerjaan masing-masing, di akhir pekan kekasihku tidak libur, justru dia mendapat 2 shift sekaligus menggantikan temannya yang sedang hamil tua. Aku sendiri memiliki kesibukan proyek-proyek dengan deadline yang memaksaku sering lembur. Dua minggu setelah aku bergabung di perusahaan konstruksi tempatku bekerja, aku mendapatkan tugas untuk keluar kota di ujung Indonesia paling timur, disana kami akan membuat tank bola di dalam laut perkiraan waktu untuk mengerjakan proyek tersebut adalah 2 bulan. Dalam hal ini aku perlu menemui kekasihku untuk pamitan sekaligus mengajak sembahyang bersama, kekasihku mengajak muspa di Wira Dharma Samudra, katanya Pura ini dekat tempat kerjanya di daerah Fatmawati yaitu di komplek marinir di daerah cilandak juga dan benar saja kami hanya perlu berjalan kaki menuju Pura ini dari Rumah Sakit tempatnya ia bekerja.
Saat kami memulai muspa, aku memusatkan pikiran kepada Dewata Agung dan harum asap dupa menenangkan bathinku semakin khusyu‘ aku melantunkan doa-doa pujian hingga aku merasakan adnjana sandhi, aku menghaturkan doa-doa kepada Hyang Widhi, sayup-sayup aku mendengar kekasihku menyanyikan sebuah Kidung Warga Sari;
Purwakaning angripta rumning wana ukir.
Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
Sukania harja winangun winarne sari.
Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng
“Tadi indah sekali” kataku memulai obrolan
“Hah? maksud bli’ pura di komplek marinir tadi?” jawab kekasihku polos
“Haha… bukan pura nya, tapi kidungmu tadi, itu indah sekali” kataku sambil menggandeng tangannya untuk menyebrang bersama
“Ah, bli’ bisa saja, aku jadi malu. Tapi terimakasih pujiannya bli’ “ ujarnya sambil malu-malu
“Sama-sama… Kamu nanti jangan rindu aku terus ya, bagiku kamu sudah menggenggam separuh hatiku, biarkan aku yang selalu merindumu” godaku lagi sambil tertawa
“Bli ini bicara apa sih? Malah membuatku tambah malu” katanya sambil menunduk
“Yasudah, aku pamit pulang ya, terimakasih untuk hari ini, aku usahakan selama aku di proyek aku akan selalu menghubungimu, semoga disana ada sinyal untuk menghubungi mu”
“Om Swatiyastuu… Rahajeng wengi” kataku sambil dadah-dadah
“Om Swatiyastuu… ” jawab kekasihku lembut
**
“Teliliitt… teliliitt… teliliitt…teliliitt” aku langsung menyambar hapeku , di layar hape muncul nama kekasihku dan emoticon bunga mawar “Puspa Sukma @–>—“
“Hallo Pus?” aku menjawab telepon singkat
“Hallo bli? Bli bagaimana keadaanmu disana? Apakah semuanya baik-baik saja?” dengan suara agak terputus-putus
“Iya, kamu jangan khawatir aku dan tim ku baik-baik saja disini, bagimana denganmu? Apakah kamu baik-baik saja” kataku sambil berjalan menacari tempat yang lebih tinggi agar mendapat sinyal lebih bagus
“Umm…. Bli, kukira aku merasa tidak enak hati bli” katanya dengan nada ragu-ragu
“Tenang Pus, aku tidak mungkin kepincut dengan gadis-gadis disini, lagipula kau sudah membawa separuh hatiku, kau ingat?” kataku mencoba menenangkannya
“Bukan seperti itu maksudku bli, tapi aku merasa ada seseorang yang sedang mengawasiku” kata Puspa dengan suara agak terputus-putus
“Biar saja kamu diawasi Pus, mungkin kamu akan dijadikan kepala Perawat oleh supervisor-mu” kataku enteng
“Bukan begitu bliiii’, bukan pengawasan di tempat kerjaku, tapi diluar seperti ketika aku hendak berangkat kerja begitu pula dengan pulangnyaa” kata Puspa dengan suara agak meninggi,
Seketika dudukku menegang, aku merasakan kepanikan dalam suara Puspa, lalu obrolan kami menjadi lebih serius;
Aku : Maksudmu seseorang sedang membututimu?
Puspa : Iya bli, aku seperti sedang diikuti seseorang
Aku : Apakah seseorang itu laki-laki?
Puspa : Entahlah bli, aku hanya merasa sedang diikuti, namun ketika aku menoleh aku tidak melihat ada orang mencurigakan, tapi aku betulan merasa sedang diawasi
Aku : Pus, kamu tenangkan diri oke? proyekku disini hampir selesai, 5 hari lagi aku segera pulang.
Puspa : Oke bli, maaf membuatmu khawatir, bli jaga kesehatan yaa, jangan lupa sembahyang.
Aku : Iya Pus, kamu juga jaga diri baik-baik. Doaku selalu menyertaimu.
Piip! telepon dimatikan, meskipun Puspa bilang untuk tidak khawatir tentu saja aku khawatir setengah mati, sebab Itu JAKARTA! kejahatan apapun dapat terjadi disana dan yang membuatku sebal adalah itu BUKAN BALI! aku tidak dapat meminta tolong siapa-siapa untuk menjaga Puspa yang sedang ketakutan disana. AARGGHH!! aku semakin kesal ketika pikiran negatif membayangiku aku takut hal yang tidak-tidak terjadi pada Puspaku. Aku pun segera sembahyang, memohon ampun melantunkan puja-puja kepada Dewata Agung untuk memberikan keselamatan untuk Puspa.
Perkiraanku untuk kembali ke Jakarta, meleset maju satu hari, aku lebih cepat sampai 4 hari dari dugaanku, sore tiba di Bandara aku bergegas ke mess untuk makan dan membersihkan badan secepat kilat dan langsung menuju ke tempat kerja Puspa, malam ini aku akan menjemputnya dan mengantarnya pulang ke kostan.
Puspa reflek memelukku ketika kami bertemu, suara Puspa sedikit bergetar ketika dia bilang dia sedang ketakutan, aku merasa kasihan untuknya, aku pun menawarkan untuk menjemputnya setiap ia pulang kerja, aku merasa itu sebagai bentuk tanggung jawab yang bisa aku lakukan karena aku sudah mengajak Puspa bekerja di Jakarta ini.
Seperti biasa sampai teras kost-an nya aku pamit pulang dan kami dadah-dadah sampai aku tidak terlihat di belokan ujung jalan kost-an khusus Putri itu. Entah hanya perasaanku yang sedang tidak enak atau memang aku kecapekan, aku merasa sangat tidak enak badan dan naluriku menyampaikan energi yang negatif, aku berusaha menghalau naluri negatif itu dan berfikir sepertinya aku akan flu atau masuk angin, entah mengapa pula aku masih menoleh kebelakang meskipun kost-an Puspa sudah tidak terlihat. Saat menoleh untuk kedua kalinya barulah aku membenarkan naluriku namun terlambat… sebuah tongkat bisbol menghantam pelipisku seketika akupun ambruk tanpa sempat membela diri.
***
Akhirnya setelah berusaha mengingat-ngingat kejadian terakhir, aku mengerti mengapa aku bisa sampai disini, aku pun mengerti siapa pria bajingan yang telah menyekap dan mengikatku ini, rupanya bajingan ini yang telah membuat gelisah Puspa selama 2 bulan terakhir ini.
Kondisiku saat ini sangat menyedihkan, sekujur tubuh dan bajuku basah tersiram bensin, aku berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang membuatku tak berdaya ini, ketika aku berusaha mengambil potongan beling untuk membuka tali yang mengikat kedua tangan di belakang punggungku, tiba-tiba si pria itu mengumpat dan berbicara tidak jelas, aku refleks pura-pura memejamkan mata seolah pingsan.
” BRENGSEK! KOREKKU TERTINGGAL DI DALAM MOBIL” umpat si pria sambil memukul-mukul kepalanya sendiri
Pria itu berjalan melewatiku, sepatu boot-nya menginjak kakiku, aku kesakitan dan ingin menjeris namun aku tahan, karena aku tahu pria ini akan membatalkan niatnya mengambil korek begitu tahu aku sudah sadar.
Saat pria itu kelaur dari ruangan ini, aku bergegas mengambil potongan beling yang ada dekat kakiku, tanpa melihat aku berusaha mengiris tali yang mengikat kencang pergelangan tanganku.
Aku mendengar derap langkah kaki pria itu untuk masuk ke ruang gelap ini, sial! sial! aku tak cukup cepat membuka tali di tanganku ini. Akupun kembali terkulai bukan untuk pura-pura pingsan tapi aku merasa aku kalah mental dengan situasi yang aku hadapi saat ini, bagaikan bebek yang siap disembelih aku hanya bisa pasrah, dalam hati aku hanya melantunkan doa-doa kepada Ida Sanghyang Widhi
“Om Apasyam gopam anipadyamanam a ca para ca prthibhih carantam sa sadhricih sa visucir vasana” (Ya Tuhan! hamba memandang Engkau Maha Pelindung, yang terus bergerak tanpa berhenti, maju dan mundur di atas bumi. Ia yang mengenakan hiasan yang serba meriah, muncul dan mengembara terus bersama bumi ini),
Dan lagi aku membaca doa untuk segala marabahaya yang terjadi;
“Om om asta maha bayaya, om sarwa dewa, sarwa sanjata, sarwa warna ya namah, OM atma raksaya, sarwa satru winsaya namah swaha” (Oh SangHyang Widhi Wasa penakluk segala macam bahaya dari segala penjuru, hamba memujamu dalam wujud sinar suci dengan beraneka warna dan senjata yang ampuh, oh SangHyang Widhi Wasa lindungilah jiwa kami, semoga semua musuh binasa)
Sambil tetap berusaha melepaskan tali di tanganku yang terikat kebelakang, namun semakin aku berusaha melepaskan tali yang terikat kuat di tanganku semakin sia-sia usahaku, tanganku bagaikan seekor tikus yang dimangsa ular, semakin meronta tikus itu semakin kuat belitan ular mencrengkramnya. Usaha melepaskan tali ini hanya membuat tanganku semakin terluka, beling yang aku gunakan itu malah mengiris-ngiris tanganku .
Pria itu kini jongkok dihadapanku di tangannya tergenggam korek api, pria itu dengan kasar mencengkram kepalaku sambil berkata;
“gadis itu milikku! kamu sebaiknya pergi saja ke neraka!” dengan nada meremehkan dan menghempaskan kepalaku dengan kasar,
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku hanya berkata lirih “Semoga Tuhan mengampunimu”
Mendengar perkataanku pria itu malah tertawa sangat keras membahana di ruangan yang hanya sekecil itu, ia pun bangkit berdiri dan bersiap-siap menyalakan korek, namun korek api itu sulit sekali untuk dinyalakan karena ia menggunakan sarung tangan, dia pun melepas sarung tanganya dan betapa mengerikannya beberapa kuku jemarinya terlepas meninggalkan jari-jemari yang buruk dan darah yang juga mengering.
“BRUAAAKK” tiba-tiba sebuah suara datang dari arah pintu, saat aku memicingkan mata dan berusaha melihat sosok di ambang pintu itu, mataku seakan tak percaya, sosok itu Pupsa!
Puspa kekasihku,dibelakangnya banyak orang menodongkan pistol dan senapan, rupanya dia datang dia datang bersama serombongan polisi. Gadis pintar, polisi mnyeruak masuk dan menodongkan senjata mereka dari berbagai sudut ke arah pria di hadapanku ini, seorang polisi melumpuhkannya dan pria itu kini berlutut dengan tangan dibelakang kepala, menyaksikan kejadian itu membuatku berlinang air mata, aku semakin lelah dan aku kehilangan banyak darah baik dari lengan dan kakiku, dalam keadaan seperti itu aku berterimakasih kepada Dewata Agung yang sudah mendengar doa-doaku lalu kepada Puspa sang belahan jiwaku aku sungguh mencintaimu Puspa Sukmaku, Puspa menghampiriku dia menyandarkanku dipelukannya, dia berulang kali memanggil-manggil namaku dengan wajahnya yang bercucuran air mata namun tetap terlihat cantik, akupun tersenyum saat memandang wajahnya,
“Bli Sapta… bangun bli ini aku”
“Bli Sapta kumohon sadarlah, kamu akan naik-baik saja sekarang, kau bersamaku sekarang bli”
suara itu seolah berdengung di kepalaku aku tak sanggup untuk menjawabnya tubuhku terlalu letih untuk tetap tersadar tubuhku merosot dan aku tak sadarkan diri di pangkuan Puspa, aku percaya perkataan Pusapa bahawa segala sesuatunya akan baik-baik saja, hanya saja tubuhku tak sanggup menahan rasa sakit dan beban kejadian ini, aku terlalu lemah namun atas segala rasa yang campur aduk itu aku merasakan kelegaan yang luar biasa lalu segalanya menggelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.
*SELESAI*